Jumat, 18 Mei 2012

Dear Ilalang

Mungkin ini terlalu awal untuk sebuah tulisan seperti biasanya. Jam satu pagi? Ah biar saja, toh tulisan ini bukan tulisan biasa. Rindu ini terlalu lama dipendam. Hati dan pikiran sudah terlalu lelah berdebat, panjang dan tidak berujung, tidak ada solusi.

Nama itu masih sangat jelas, kamu mungkin tidak perduli, tapi dia selalu muncul setiap hari. Tidak, setiap saat. Ya, bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana ini semua disebut. Semua masih ada, seperti film yang terputar dengan jelas di otak dan tidak mau berhenti.

Aku mungkin pelupa. Tapi tidak untuk kenang tentang kita. Setiap detail, semua momen, bahkan SMSmu yang pertama masih tersimpan dengan baik di hape butut itu. Foto-foto itu, kita sudah kesana kemari ternyata. Ah tapi setiap kali aku rindu, mereka adalah obat paling manis, karena aku terlalu takut untuk menghubungimu.

Kita punya daftar tempat makan yang ingin dikunjungi, dan masih banyak tempat-tempat lain di daftar kita yang belum sempat kita datangi. Apa kamu ingat? Semua bermula di Ullen Sentalu, dua puluh lima bulan yang lalu. Dan tidak pernah terbayangkan oleh pikiranku saat itu bahwa aku bisa berada di posisi ini, sekarang. Yang aku tahu aku adalah perempuan paling bahagia saat itu.

Masih terlalu muda, dan setengah jam yang lalu ketika aku membuka kembali percakapan di sms kita dua tahun lalu, aku sadar. Aku mungkin memang orang paling egois di sini. Tidak tahu emosi itu datang dari mana, ketika membacanya kembali pun aku tidak kuat dan langsung melempar hape jauh-jauh. Penyesalan selalu datang terakhir. Bahkan butuh waktu dua tahun kemudian. Bodoh. Maaf.

Sebut saja aku tidak bisa menjaga stabilitas emosi. Karena masih terlalu muda? Mungkin. Tapi setiap hari manusia terus belajar bukan? Aku pun benci aku yang seperti itu. Dan yang aku tau kamu adalah orang paling sabar dan bisa diandalkan bahkan kalau teman-temanmu membutuhkanmu mereka adalah hal yang paling kamu dahulukan. Dulu aku masih terlalu bodoh untuk tidak mengerti itu, tapi sekarang aku tahu. Kamu baik.

Tapi untuk apa menyesal? Toh itu semua sudah seharusnya terjadi. Seperti yang kamu bilang, masalah itu selalu ada untuk kita terus belajar. Untuk kita semakin paham satu sama lain. Tapi kemudian Tuhan berkehendak lain.

Kita pernah berproses bersama, dan itu sangat menyenangkan. Aku belajar banyak sekali hal dari kamu, dan terimakasih sudah menjadi guru yang paling baik yang paling sabar. Kamu adalah orang yang ingin terlihat tahu segala hal, bahkan tidak jarang kita berdebat untuk hal-hal sepele. Tapi bukankah kita memang suka berdebat? Debat itu menyenangkan kan. :)

Sesuatu telah membawaku pada titik ini, dimana aku harus menulis tentang kamu. Aku terlalu takut untuk menghubungimu. Aku merindukanmu dalam diam. Aku tidak tahu apakah diam-diam rindu itu sampai kepadamu. Kamu pun tidak pernah memberitahu. Yasudah, anggap saja memang tidak pernah. Tidak apa.

Kamu pernah bilang jangan berharap apa-apa lagi dari kamu, karena kamu sudah tidak seperti dulu lagi, dan aku pernah seperti orang kesurupan waktu kamu bilang itu semua. Tapi kamu juga pernah berjanji kamu akan selalu mendukungku. Kamu akan datang ke acara wisudaku. Itu manis sekali. Aku senang, dan lagi-lagi aku berharap. Ah entahlah mungkin juga kamu tidak akan pernah memenuhi janjimu. Tidak apa.

Tepat setahun yang lalu, aku lelah karena beban tugas dan kegiatan di kampus yang harus aku jalani, begitupun kamu, pikiran dan tenaga yang sudah terkuras habis waktu diklat itu membuat kamu lupa tanggal penting kita. Tapi lagi-lagi emosi yang tidak bisa terkontrol dan lagi-lagi aku melakukan hal bodoh.

Mungkin kamu akan menilai tulisan ini bodoh. Aku pun demikian, tapi mungkin nanti lima atau sepuluh tahun lagi, ketika takdir sudah mengambil keputusan. Aku tidak pernah sampai seperti ini sebelumnya dan kamu tahu persis hal itu.

Ah aku terlalu banyak bicara, sembilan bulan mengutarakan kata maaf pun tidak cukup sepertinya untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Aku tidak tahu harus seperti apa. Aku tidak tahu harus menghadapimu seperti apa kalau kita bertemu lagi. Bahkan mungkin ketika kamu sudah memilih pendamping lain.

Ah lagi-lagi aku membuang-buang waktu. Kamu pasti benci. Tapi aku benar-benar tidak tahu. Yang aku tahu kita berdua pernah hebat. Dan pipiku lagi-lagi basah. Kamu pasti benci. Kamu selalu benci aku menangis. Maaf. Tapi yang aku tahu, perasaan ini tidak pernah bercanda dan tidak pernah marah. Insya Allah, aku menyayangimu dengan ikhlas.

Hubungi aku kapanpun kamu siap. Atau kapanpun kamu mau, atau kapan sajalah. Toh kamu selalu tahu aku selalu menunggu saat itu. Nanti malam aku mau nonton Sheila on 7. Dulu kamu sempat mengajakku nonton mereka di acara kampus tetangga dan bertemu dengan teman-temanmu dari Jakarta, tapi kita belum terlalu dekat saat itu, aku sungkan. Dan seandainya dulu.. dan sekarang kita bisa.. Ah lagi-lagi aku berharap..

Biarlah, kan setiap saat aku juga memikirkanmu, anggap saja kita sedang nonton bersama. Ih aku sudah mulai gila.

Tulisan ini tidak akan pernah cukup untuk bikin kamu tau, kita tidak pernah bilang cinta tapi apa ini yang dibilang orang-orang sebagai cinta? Entahlah. Apa mungkin aku harus menuliskannya dalam sebuah novel?  Selamat melanjutkan hidup ya, kamu sudah ada di sana, tinggal sedikit lagi. Dan aku akan terus mendukungmu dalam diamku. Ah aku rasa kamu sudah cukup tahu. Aku sayang kamu.


Yogyakarta, 18 Mei 2012.

Ada Ilalang di padang rumput
Ada kaktus di padang pasir
Walau hidup di dunia semerawut
Tapi mereka pernah saling taksir






ditulis sambil mendengarkan pamityang2an, dan karena galau adalah harapan. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar